Jumat, 04 Januari 2008

Nasionalisme




OLEH : SUHARA GOLAN SIDABUTAR


JUDUL
: PERSOALAN DISINTEGRASI MORAL MASYARAKAT DAN NASIONALISME


PENDAHULUAN

Falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah Pancasila, yang mengandung nilai-nilai (moral dan etika) bangsa, karena sumbernya digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang terus dipelihara dan dilestarikan keberadaannya. Suatu perubahan nilai yang terjadi di dalam masyarakat tidak terlepas dari adanya kecenderungan perubahan struktur masyarakat itu sendiri. Prosesnya antara lain disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi, baik yang terjadi di dalam negeri maupun pengaruh global. Manusia hidup dengan sistem nilai yang berakar dari kebudayaan. Diantara berbagai sistem konfigurasi nilai yang ada di masyarakat terdapat nilai moral, yaitu menerangkan apa yang baik bagi manusia. Moral dikatakan sebagai rasa kesadaran tentang kewajiban untuk berbuat baik dan menghindari yang buruk. Dengan perkataan lain, moral merupakan bisikan hati nurani agar selalu mengacu kepada hal-hal yang baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat sekelilingnya. Selanjutnya, moral selalu konkrit. Sedangkan refleksi tentang moral disebut dengan etika, sehingga etika disebut juga sebagai proses filsafat tentang moral yang merupakan pemikiran kritis rasional tentang nilai-nilai moral.

Dalam pembangunan nasional, moral merupakan lapisan benteng terakhir yang melindungi kepribadian suatu masyarakat dan integritas bangsa. Nilai moral yang ada pada masyarakat juga sebagai penyelamat bangsa dalam menghadapi proses modernisasi. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila merupakan sumber nilai moral masyarakat Indonesia. Asas negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berbudi pekerti dan asas kemanusiaan yang luhur merupakan landasan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, orientasinya selalu mengacu kepada nilai-nilai moral, bukan kekuasaan. Dengan demikian, maka moral dan etika kebangsaan dapat diartikan sebagai pola pikir, pola sikap dan pola tindak seseorang yang positif dan mulia, yang bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila yang telah mengkristal dan diterima oleh masyarakat. Dengan demikian, bila dikaitkan dengan faham kebangsaan, maka moralnya adalah persatuan dan kesatuan sedangkan etika kebangsaan adalah musyawarah untuk mufakat.

Dalam bangsa itu tumbuh dan berkembang etika kebangsaan, yakni prinsip-prinsip dasar dari nilai moral yang membimbing bangsa dalam langkah dan tindakannya. Ia manumbuhkan dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia sikap peduli pada bangsanya dan melahirkan suatu komitmen pada bangsa. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila dijabarkan lebih lanjut dan dijadikan ukuran serta tuntutan sikap, perilaku dan gaya hidup bangsa Indonesia dalam segenap aspek kehidupan. Dikaitkan dengan proses pembangunan yang tengah berjalan, maka hakekat moral yaitu nilai-nilai dasarnya adalah tetap, namun aktualisasinya sebagai nilai praksis dapat mengalami perubahan dan penyesuaian tanpa menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Secara umum moral dan etika kebangsaan dapat dilihat dari sumber, nilai serta kualitasnya.

PEMBAHASAN

Menjalani 62 tahun usia kemerdekaan bangsa Indonesia masih bergelut dengan berbagai persoalan yang bermuara pada krisis moral dan ketimpangan sosial. Bangsa yang berbobot adalah bangsa yang mampu mempertahankan kepribadian serta sanggup mengevaluasi nila-nilai luhur warisan nenek moyangnya untuk dilestarikan dan dikembangkan selaras dengan proses kemajuan zaman yang selanjutnya dipersiapkan sebagai bekal hidup bagi generasi penerus dalam mempertahankan eksistensi dan martabat bangsanya.

Krisis budaya menghantui bangsa kita, kesenjangan antara kesadaran dan perilaku. Akhir-akhir ini kita melihat bahwa kesadaran kemanusiaan mengalami penurunan. Konformisme pada perilaku kolektif mendominasi kehidupan sehari-hari. Kekerasan, kebrutalan dan sadisme terus terjadi, sepertinya kita tak kuasa menghentikannya. Seolah-olah bangsa ini sedang melakukan orgi dengan agresivitas (agressiviteit, aggressiveness) sebagai bahan baku. Kita sedang sibuk dengan melukai diri sendiri, upacara menuju penghancuran kemanusiaan. Kita percaya bahwa waktu akan menyembuhkan luka-luka. Akan tetapi kitapun harus berbuat sesuatu agar penyembuhan itu benar-benar terjadi.

Pada pertengahan Mei 1998 terjadi huru-hara dimana-mana, mobil dibakar, rumah dilempari batu, toko dirusak, perempuan diperkosa, sarana umum dipreteli. Mahasiswa melakukan agresi dengan menduduki gedung MPR/DPR dan berhasil merontokkan Orde Baru yang sangat agresif pada tanggal 21 Mei 1998. Reformasi berubah jadi kata sakti yang membakar daerah-daerah dan menyulut kelompok-kelompok sosial. Ketakutan beruah jadi keberanian, malu-malu jadi terang-terangan. Tetapi demonstrasi berjalan terus, di pusat dan di daerah, seperti tak habis-habisnya. Penjarahan dan pencurian beramai-ramai terjadi.

Orde baru dengan kekuasaan yang kuat berhasil mencengkeram selama 32 tahun luluh-lantak oleh demonstrasi mahasiswa yang agresif. Angresifitas meruntuhkan baik realitas maupun mitos. Apakah sejarah menjadi terang benderang? Ternyata tidak. Sesudah itu rupanya orang terbiasa mendengar, melihat dan melakukan agresivitas dengan tanpa disadari.

Mahasiswa belajar tentang betapa efektifnya demonstrasi, orasi dan agresivitas. Agresivitas pernah membawa berkah. Akan tetapi, agresivitas rupaya tidak bisa dihentikan begitu tugas selesai. Di Yogyakarta pada Senin sore tanggal 26 Oktober 1998 terjadi tawuran massal antar mahasiswa dengan korban 31 orang luka-luka di stadion Mandala Krida (Kedaulatan Rakyat (KR), 27-10-1998). Tawuran ini terjadi dalam turnamen piala Janabadra Cup VII antara para suporter sepakbola mahasiswa UII (Universitas Islam Indonesia) dan UJB (Universitas Janabadra), dua kampus yang berperan besar dalam reformasi. Ironisnya ialah bahwa peristiwa itu melibatkan mahasiswa, segmen masyarakat yang paling terdidik, yang beberapa bulan sebelumnya berhasil menumbangkan sebuah rezim otoriter. Lebih mengerikan lagi apa yang terjadi di lingkungan masyarakat yang kurang pendidikan seminggu sebelumnya di pedesaan Malang. KR Selasa 20 Oktober 1998 menulis, ”massa semakin tak terkendali, kepala tersangka ”ninja” yang sudah dipenggal, ditusuk dengan bambu dan diarak keliling. Peristiwa itu terjadi di Malang, Indonesia tidak pada zaman dulu tapi baru-baru ini. TV swasta SCTV tanggal 5 November 1998 memberitakan bahwa sebuah SMP di Kendal, Jateng dirusak masa karena kepala sekolahnya baru saja memenangkan pilkades, massa kepala sekolah kemudian ganti mengamuk. KR Minggu 8 November 1998, memberitakan tentang kerusuhan massa di Demak, Pemalang dan Slawi, Jateng. Koran-koran pusat dan daerah pada tanggal 11 November 1998 semuanya memberitakan adanya bentrok massal antara kelompok pro dengan kontra sidang istimewa MPR, dan antara mahasiswa dengan pengamanan swakarsa pada hari pertama SI. Selanjutnya semua media elektronik dan cetak memberitakan adanya bentrok antara mahasiswa, aparat keamanan, Pam Swakarsa dan massa pada hari-hari sekitar SI MPR di Jakarta, tanggal 10-13 November 1998. Korban agresivitas yang memuncak dalam Tragedi Semanggi itu ialah sedikitnya 13 orang meninggal, ratusan luka-luka, dan sejumlah toko dan kendaraan dibakar. Di kota dan di desa massa menjadi penguasa baru.

Pasti ada yang salah dengan kebudayaan kita. Kesenjangan antara kesadaran dan perilaku yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Karena itu tidak mengherankan kalau sekarang agresivitas menjadi pemandangan sehari-hari.

Norma hukum akan menata segala usaha dan kegiatan pembangungan secara tertib dan teratur sehingga mampu menciptakan sinergisme dari seluruh putusan yang ada. Norma hukum akan menjamin terjadinya kordinasi, integrasi dan sinkronisasi serta simplikasi dari seluruh perilaku pembangunan. Norma hukum akan menghasilkan kepastian, rasa keadilan, keamanan, ketenagan akan menjadi penasehat persatuan dan kesatuan yang menghasilkan sinergisme dari segala usaha dan kegiatan pembangunan.

Bagi bangsa Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila, peningkatan mutu manusia, tidak semata-mata berwujud pada tingkat pendidikan dan keterampilan saja, tetapi juga mencakup moral dan etika kebangsaan, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta tetap mempertahankan kepribadian Indonesia. Oleh karena itu kualitas moral dan etika kebangsaan adalah juga merupakan sifat-sifat kepribadian bangsa Indonesia yang berkaitan erat dengan perubahan-perubahan nilai.

Sifat-sifat kepribadian bangsa Indonesia dicerminkan antara lain dengan tingkat kebudayaan Nasional, integritas nasional dan identitas nasional. Oleh karena itu kualitas moral dan etika kebangsaan ukurannya adalah sejauh mana nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila diwujudkan sebagai ukuran tuntutan hidup, tingkah laku dan perbuatan bagi bangsa dan negara Indonesia telah mencapai landasan, semangat dan jiwa yang secara khas merupakan ciri pada elemen-elemen sosial, budaya bangsa dan negara Indonesia.

Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila dijabarkan lebih lanjut dan dijadikan ukuran tuntutan sikap, perilaku dan gaya hidup bangsa Indonesia dalam segala aspek kehidupan. Nilai-nilai kebudayaan nasional harus berkembang sejalan dengan proses pertumbuhan dan kemajuan dengan tetap berpijak pada kepribadian bangsa.

Integritas Nasional, Bangsa Indonesia yang majemuk adalah merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Integritas nasional harus lahir dari tujuan nasional yang berlandaskan pada falsafah idiologi Pancasila dan dari keanekaragaman realitas sosial sesuai dengan konsepsi Bhinneka Tungal Ika yang mengandung persatuan dan kesatuan.

Identitas Nasional atau kepribadian nasional adalah ekspresi dinamis tentang tujuan dan tekad hidup bangsa. Sikap perilaku dan gaya hidup bangsa Indonesia dengan segenap warganya merupakan kepribadian yang diekspresikan, baik dalam bentuk sistem nilai yang dianutnya maupun dalam tingkah laku lahiriah. Sifat-sifat kepribadian bangsa Indonesia yang berkaitan erat dengan perubahan-perubahan nilai, menurut orientasi Pancasila adalah bersifat religius, kekeluargaan, kerakyatan serta selaras, serasi dan seimbang.

Implementasi Moral dan etika masyarakat Indonesia tercermin dalam kondisi umum yang telah dicapai dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, serta tantangan yang masih harus dihadapi dalam menjalani Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap I Tahun 2005-2009. Adapun kondisi umum dapat diuraikan menjadi dua bagian, sebagai berikut :

a. Hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain:

1) Telah berhasil diciptakan kerangka landasan yang cukup kuat untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri, baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya maupun di bidang pertahanan keamanan.

2) Di bidang ekonomi telah dapat terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh rakyat dan diciptakan struktur ekonomi yang lebih seimbang, penguatan dan pendalaman struktur industri akan terus dimantapkan bersamaan dengan usaha peningkatan diversifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi pertanian dan pengembangan agroindustri serta agrobisnis yang makin tangguh.

3) Di bidang politik, pembaharuan kehidupan politik telah makin memantapkan kesepakatan politik untuk menegaskan kembali dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penerapan politik luar negeri bebas aktif secara konsekuen telah semakin meningkatkan citra, wibawa, kedudukan dan peranan Indonesia dalam ikut serta menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera.

4) Dalam kehidupan sosial budaya, kualitas sumber daya manusia telah makin meningkat dan keserasian, keselarasan serta keseimbangan kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia baik lahir maupun batin makin berkembang. Disamping itu, melembaganya budaya dan semangat membangun serta makin mantapnya semangat kebangsaan yang berwawasan nusantara. Upaya pembangunan kependudukan telah berhasil menekan pertumbuhan penduduk dan menaikkan usia harapan hidup.

5) Di bidang pertahanan dan keamanan telah diwujudkan pengamanan perjuangan nasional, termasuk pengamanan pelaksanaan pembangunan berkat mantapnya kemampuan bangsa dalam memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis serta makin meningkatnya ketahanan nasional.

b. Tantangan yang harus dihadapi, antara lain:

1) Globalisasi yang didorong kemajuan pesat di bidang teknologi dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada gilirannya akan berdampak pada pelaksanaan pembangunan nasional di masa mendatang. Di bidang ekonomi, selain makin kuatnya persaingan di pasaran internasional adalah munculnya pengelompokan antar negara yang cenderung meningkatkan proteksionisme dan diskriminasi pasar yang dapat menghambat pemasaran hasil produksi dalam negeri dan mendorong persaingan yang kurang sehat. Di bidang politik dan pertahanan keamanan, kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap Pancasila, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, khususnya persatuan dan kesatuan bangsa. Di bidang sosial budaya, masuknya nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai luhur budaya bangsa.

2) Masih adanya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang menuntut usaha yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya agar tidak berkelanjutan dan berkembang ke arah keangkuhan dan kecemburuan sosial. Selain itu, upaya untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi dalam berbagai bentuk monopoli dan praktek lainnya yang merugikan masyarakat. Pembangunan yang semakin meningkat memerlukan biaya yang makin meningkat pula yang tidak dapat sepenuhnya dibiayai dari sumber dana dalam negeri.

3) Pembangunan yang semakin meningkat dan bertambahnya jumlah penduduk juga akan dihadapkan pada kondisi sumber daya alam yang semakin terbatas, khususnya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya lahan, air dan hutan serta pola dan tata ruang masih belum sepenuhnya dilaksanakan bersamaan dengan pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup, antara lain, yang berkaitan dengan upaya pelestarian daerah resapan dan daerah penyangga air. Kebutuhan akan energi meningkat pula dengan cepat sehingga menuntut kebijaksanaan yang menyeluruh dan terpadu yang menjamin pemenuhan kebutuhan energi yang memenuhi persyaratan aman, adil dan terjangkau oleh daya beli rakyat.

4) Organisasi kepemudaan makin menghadapi tantangan yang makin besar untuk lebih mampu melaksanakan fungsinya dalam pembangunan secara optimal termasuk pelaksanaan pendidikan politik yang menjangkau kaum pemuda di seluruh tanah air. Sikap dan semangat kepopuleran dan keperintisan serta sikap dan semangat menghargai pahlawan serta wadah pembinaanya masih tingkat perlu ditingkatkan.

5) Dalam pembangunan kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tantangan yang masih harus dihadapi adalah kedalaman pengalaman ajaran dan nilai-nilai agama serta kemantapan kehidupan beragama dalam rangka memperkokoh landasan spritual, moral dan etika bagi pembangunan serta landasan persatuan dan kesatuan bangsa.

6) Kemampuan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek masih perlu terus ditingkatkan untuk dapat mengimbangi kemajuan dan memenuhi kebutuhan pembangunan yang terus meningkat dan berubah secara cepat dalam rangka menjawab tantangan masa depan.

7) Pembangunan hukum yang menuju terwujudnya sistem hukum nasional perlu sungguh-sungguh diperhatikan untuk menjawab tuntutan masyarakat yang makin meningkat terhadap kepastian dan pengayoman hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.

8) Pengamalan budaya politik Pancasila, terutama menyangkut etika dan moral politik.

9) Dalam pembangunan daerah masih perlu diberikan perhatian yang lebih besar, khususnya daerah yang terbelakang, daerah yang padat dan daerah yang sangat kurang penduduknya, daerah transmigrasi, daerah terpencil dan daerah perbatasan serta daerah yang memiliki ciri khas seperti daerah tertentu di kawasan timur Indonesia.

Keadaan carut marut yang melanda Indonesia saat ini sangat mungkin bermuara dari adanya krisis moral. Dan semua indikator mengenai kemungkinan hancurnya sebuah bangsa terkait erat dengan masalah karakter dan moral. Setelah lebih dari 50 tahun pembangunan pendidikan nasional yang terlihat hanya kehancuran moral dari perilaku semua lapis usia, tidak perduli remaja atau dewasa.

Ada sepuluh tanda zaman yang harus diwaspadai sehingga pertanda sebuah bangsa menuju jurang kehancuran. Dan kesepuluh tanda zaman bukti bangsa menuju kehancuran sedang melanda Indonesia. Kesepuluh tanda zaman itu adalah:

1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,

2) Penggunaan kata-kata dan bahasa yang memburuk,

3) Pengaruh kesetiaan kelompok remaja yang kuat dalam tindak kekerasan,

4) Meningkatnya perilaku merusak diri seperti narkoba, alkohol dan seks bebas,

5) Semakin rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan bagian dari sebuah bangsa,

6) Semakin kaburnya pedoman moral baik dan moral buruk,

7) Menurunnya etos kerja,

8) Semakin rendahnya rasa hormat kepada guru dan orang tua,

9) Membudayakan ketidakjujuran,

10) Meningkatnya eskalasi saling curiga dan kebencian antar sesama.

Dengan melihat semua tanda-tanda itu telah ada di Indonesia, maka mungkin saja benar bahwa akar permasalahan dari krisis berat yang melanda Indonesia adalah karena permasalahan hancurnya karakter bangsa. Semua kondisi di atas membuktikan bahwa tujuan mendasar pendidikan nasional untuk membuat manusia yang baik dan pintar belum tercapai. Meski harus diakui banyak orang Indonesia yang cerdas secara akademik, tetapi terbelakang secara emosi, sehingga berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan. Penyebab lain, selama ini belum ada pendidikan karakter siswa dalam kurikulum pendidikan nasional tetapi yang ada hanya pengajaran pengetahuan karakter yang tertuang dalam mata pelajaran agama dan kewarganegaraan dan Pancasila. Diperparah lagi dengan sistem pengajaran dilakukan dengan sistem penghafalan dan pengukuran kemampuan siswa berdasarkan hasil ujian dengan soal pilihan berganda. Kalaupun selama ini orientasi pendidikan Indonesia hanya memperoleh nilai bagus, maka tidak aneh bila terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku masyarakatnya.

PENUTUP

Pancasila sebagai sumber moral kebangsaan memberikan ciri yang dapat diformulasikan sesuai kewajiban berbuat sesuai dengan semangat persatuan kesatuan bangsa seperti yang diikrarkan dalam sumpah pemuda yaitu satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Norma moral kebangsaan pada hakekatnya adalah Wawasan Nusantara yang merupakan kewajiban berbuat baik untuk mengaplikasikan Wawasan Nusantara dalam kehidupan sehari-hari. Norma moral dan etika kebangsaan bersifat terbuka, dinamis serta fleksibel sesuai dengan tuntutan jaman, namun senantiasa terkait secara ikhlas pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Etika kebangsaan Indonesia adalah pemikiran bangsa Indonesia mengenai moral kebangsaan Indonesia yang merupakan filsafat moral untuk mendalami nilai moral kebangsaan yang menggambarkan integritas bangsa. Etika kebangsaan akan berwujud konkrit dalam kehidupan sehari-hari berupa musyawarah mufakat dalam membuat keputusan. Norma moral etika masyarakat Indonesia adalah kewajiban berbuat sesuai dengan Wawasan Nusantara yang ditampilkan dalam musyawarah mufakat. Moral etika kebangsaan Indonesia merupakan identitas serta integritas bangsa yang menjamin kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Persatuan memperkuat kekuatan suatu bangsa. Karena itulah di negara-negara yang multietnik, persatuan memegang peranan yang penting. Perbedaan etnik sering kali menjadi pemicu timbulnya konflik antar etnik dan konflik itu pada gilirannya akan mengarahkan kepada perpecahan. Kondisi negara yang terpecah-pecah sulit untuk memiliki kekuatan yang besar, karena potensi kekuatan yang ada pada tiap-tiap etnik dimanfaatkan untuk saling menyerang diantara etnik-etnik itu atau golongan-golongan itu. Keinginan hidup bersama dalam keadaan sejahtera adalah cita-cita kemerdekaan yang harus diperjuangkan. Cita-cita ini bisa dicapai dengan didukung keadilan. Kesatuan dan persatuan akan bisa dipertahankan dengan menciptakan pembangunan yang adil untuk semua warga negara, ada keseimbangan antara pusat dan daerah.

Tidak ada komentar: