Selasa, 15 Januari 2008

Kepemimpinan

AKTUALISASI PERAN PEMIMPIN DALAM RANGKA

MEWUJUDKAN KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

BY. SUHARA GOLAN SIDABUTAR


PENDAHULUAN

Kepemimpinan pemerintahan pada semua tingkat pemerintahan mempunyai posisi yang strategis dalam usaha mewujudkan tujuan pemerintahan negara sesuai dengan cita-cita bangsa. Posisi strategis tersebut semakin dirasakan di lingkungan bangsa Indonesia yang sedang membangun dalam rangka mengisi kemerdekaan, karena pada dasarnya, sejarah suatu bangsa dan negara akan berkisar pada sejarah dan para pemimpin-pemimpinnya atau tokoh-tokohnya. Untuk itu diharapkan para pemimpin pemerintahan di semua tingkat menyadari posisinya dan berbuat sekuat tenaga untuk menggerakkan dan membimbing bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya melalui pembangunan nasional. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia adalah satu jenis kepemimpinan di bidang pemerintahan atau kepemimpinan yang dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintahan, baik selaku pejabat badan legislatif, eksekutif maupun yudikatif, yang memiliki ciri-ciri yang khas yang terjabarkan dan dasar negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa yang mewarnai sistem pemerintahannya.

Melihat kenyataan di lapangan, dapat diamati bahwa kinerja dan Kepemimpinan Pemerintahan sampai saat ini masih belum sesuai dengan kehendak sebagian besar rakyat Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam hampir semua sendi kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia yang semakin sulit dan ditambah lagi dengan stabilitas politik yang semakin menurun, menambah semakin terpuruknya Indonesia ke dalam krisis nasional yang berkepanjangan.

Menghadapi arus globalisasi yang semakin deras dan berpengaruh terhadap perkembangan lingkungan strategis, yang dapat menciptakan peluang dan kendala dalam pelaksanaan pembangunan nasional ke depan yang semakin kompleks, diperlukan aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan yang sejalan dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasionalnya, sesuai dengan jiwa dan semangat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar tahun 1945.

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang antara lain bertujuan untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin, menuju masyarakat makmur yang berkeadilan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, membutuhkan Kepemimpinan Pemerintahan yang berkualitas secara berkesinambungan yang mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman secara aktual. Sehingga, aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan di segala tingkatan yang berwawasan global dan bertindak lokal serta memiliki wawasan yang jauh ke depan perubahan inilah yang diperlukan guna meningkatkan stabilitas politik dalam rangka mengatasi krisis nasional.

Pada umumnya kepemimpinan Nasiona Indonesia, suka maupun
tidak suka mayoritas diisi oleh elit partai politik, yang pada saat ini
keberadaannya sangat mengkhawatirkan, sehingga mengalami krisis
kepercayaan masyarakat yang diakibatkan dari pada tingkah laku para elit partai politik yang hanya memikirkan dirinya sendiri ataupun kelompoknya.
Diperlukannya penyelenggara negara untuk memiliki pedoman tentang landasan etika aparaturnya berkaitan dengan sifat kekuasaan yang cenderung menyeleweng, maka kekuasaan pemerintah dapat dibatasi melalui hukum dan etika.

Pada saat yang sama penyelenggara negara juga perlu komitmen yang kuat terhadap tugas yang diembannya sebagai amanah rakyat dengan ditingkatkannya moral untuk menjaga citra yang baik dihadapan masyarakat, dengan modal dasar kepribadian seperti itu, aparat penyelenggara dapat dibina lebih lanjut, agar membangun komitmen yang spesifik untuk mentaati nilai-nilai etika profesinya. Dengan kata lain, ketaatan etis tidaklah terbangun dalam kevakuman iman dan moral seseorang, ketaatan itu harus terbangun di atas landasan iman yang kuat dan moral yang tinggi. Juga perlu dipahami bahwa etika pemerintahan atau etika kepemimpinan nasional tidaklah berdiri sendiri, penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip negara hukum. Itulah sebabnya sebuah pemerintahan yang bersih, segala tingkah laku dan kebijakannya berangkat dan komitmen moral yang kuat, hanya bisa diharapkan dalam sebuah negara hukum.

PEMBAHASAN

Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan tehnik atau gaya untuk menyelaraskan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya. Juga
merupakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan dirinya dalam jabatannya, yang menuntut adanya kemahiran dalam membaca situasi yang terjadi dalam organisasi dan lingkungannya, sehingga dapat diciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi kehidupan organisasi dalam mencapai tujuannya.
Untuk itu, kepentingan organisasilah yang menjadi kepentingan yang utama,
sehingga kepentingan pengawak organisasi, terutama kepentingan pemimpinnya, harus diselaraskan dengan kepentingan organisasi. Penyimpangan atau deviasi (deviation) antara kepentingan pemimpin organisasi dengan kepentingan organisasi atau kepentingan pemimpin dengan yang dipimpinnya, harus sekecil mungkin.

Proses panjang perjalanan sejarah suatu bangsa dalam rentang waktu
tertentu, pasti akan melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa dan
berdasarkan pola kepemimpinannya itulah arah perjalanan sebuah bangsa
akan ditentukan. Dengan kata lain, karena pada dasarnya sejarah suatu
bangsa dan negara juga akan berkisar pada sejarah dan pemimpin-pemimpinnya, maka kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam suatu negara dapat dipergunakan sebagai tolok ukur dari keberhasilan kepemimpinan pemerintahan di negara tersebut. Berdasarkan pengamatan dan penilalan dari para pakar pemerintahan, maka secara kualitatif kepemimpinan pemerintahan pada masa kini cenderung mengalami degradasi, hal tersebut dapat dilihat dari maraknya gejolak sosial yang timbul di dalam masyarakat pada akhir-akhir ini, yang dampaknya dapat dilihat dan dirasakan dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Mengamati kilas balik sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pasang surut stabilitas politik mengakibatkan terjadinya berbagai krisis dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya dalam proses pergantian kepemimpinan pemerintahan. Sehingga era kepemimpinan pemerintahan secara tegas terbagi-bagi sesuai dengan kepemimpinan yang berperan pada masa tersebut, yaitu Era Orde Lama atau Era Soekarno, Era Orde Baru atau Era Soeharto, Era Transisi atau Era Habibie, Era Reformasi atau Era Abdurrahman Wahid, Era Reformasi Gotong Royong atau Era Megawati dan Era Reformasi Indonesia Bersatu atau Susilo Bambang Yudoyono.

a. Era Orde Lama / Era Soekarno (1945 1966)

Perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah merupakan kelanjutan dari sikap dan keinginan pemuda dalam mewujudkan tanah air dan bangsa yang satu, yaitu Indonesia. Kemampuan elit kepemimpinan bangsa pada saat itu dalam menggerakkan rakyat demikian menonjol, sehingga menimbulkan rasa kesetiakawanan dan rela berkorban yang terpadu menjadi semangat juang yang sangat kokoh.

Melalui perjuangan yang panjang, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya dan membentuk pemerintahan negara Indonesia. Berdasarkan Undang Undang Dasar tahun 1945 yang di undangkan pada tanggal 18 Agustus 1945, maka bentuk negara kesatuan Indonesia adalah Republik dan Ir. Soekarno diangkat sebagai Presiden pertama dengan Wakil Presiden adalah Drs. Mohammad Hatta. Perangkat pemerintahan dengan sistem Presidensil dibentuk dan sebagai negara republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh suatu badan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggotanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai badan legislatif, juga terdiri wakil-wakil rakyat yang keanggotaannya ditentukan oleh Undang Undang.

Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa).

Berbagai gejolak di tanah air terjadi selama kepemimpinan Presiden Soekarno, akibat dari adanya kebhinekaan dan pluralitas masyarakat Indonesia serta ketidakpuasan memunculkan gerakan-gerakan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa melalui pemberontakan-pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain DI/TII, Permesta dan yang belum terselesaikan sampai dengan saat ini adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsanya. Namun berdasarkan perjalanan sejarah kepemimpinannya, ciri kepemimpinan yang demikian ternyata mengarah pada figur sentral dan kultus individu. Menjelang akhir kepemimpinannya terjadi tindakan politik yang sangat bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mengangkat Ketua MPR (S) juga sebagai Menteri, sehingga kedudukan Presiden berada di atas MPR (S).

b. Era Orde Baru / Era Soeharto (1966 - 1998)

Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan. Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.

c. Era Transisi / Era Ha bible (1998 1999)

Lengsernya Presiden Soeharto ditandai dengan serah terima jabatan Presiden, dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden Prof. Dr. Ing. B.J Habibie pada Mei 1998. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa pemerintahan Presiden Habibie hanyalah pemerintahan transisi yang bersifat sementara. Pemenintahan pada masa Presiden Habibie juga dianggap hanya lanjutan dari pemerintahan Orde Baru, karena masih mempunyai kaitan yang erat merupakan kroni dari mantan Presiden Soeharto.

Sebenarnya gaya kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya
kepemimpinan Dedikatif-Fasilitatif, merupakan sendi dan Kepemimpinan Demokratik. Pada masa pemerintahan B.J Habibie ini, kebebasan pers dibuka lebar-lebar sehingga melahirkan demokratisasi yang lebih besar. Pada saat itu pula peraturan-peraturan perundang-undangan banyak dibuat. Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Setelah B.J Habibie turun, maka suatu pemilihan demokratis untuk pertama kalinya dalam tiga dasawarsa, terpilihlah duet K.H Abdurrahman Wahid-Megawati Sukarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan langsung di Majelis Permusyawaratan Rakyat.


d. Era Reformasi / Era Abdurrahman Wahid (1999 2001)

Melalui Poros Tengah, K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden RI ke empat dan Megawati Soekarnoputni sebagai Wakil Presiden ke delapan, walaupun Partainya Ibu Megawati, PDI-Perjuangan, adalah Partai pemenang Pemilu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kepemimpinan Pemenintahan di Era Reformasi lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dari pada kekuasaan. Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid adalah gaya kepemimpinan Responsif-Akomodatif, yang berusaha untuk mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam yang diharapkan dapat dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memihki keabsahan. Pelaksanaan dan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan diharapkan mampu menggerakkan partisipasi aktif para pelaksana di lapangan, karena merasa ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau kebijaksanaan.

Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya, dilanjutkan dengan pemilihan dan pengangkatan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI kelima serta pemilihan dan pengangkatan Hamzah Has sebagai Wakil Presiden kesembilan.

e. Era Reformasi Gotong Royong/ Era Megawati (2001 - 2004)

Sidang Istimewa MPR pada bulan Juli 2001 mengantarkan duet Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Has menduduki kursi kepresidenan dan Wakil Presiden, walaupun tanpa kehadiran dan persetujuan beberapa anggota Fraksi yang mendukung Dekrit yang dikeuarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ibu Megawati yang pada pasca Pemilu 1999 yang lalu diragukan kemampuannya dalam memimpin negara, ternya mampu menyusun anggota Kabinet, yang dinamai Kabinet Gotong Royong, yang cukup representatif, di luar perkiraan sebagian besar masyarakat yang menduga bahwa Kabinet Megawati juga tidak akan jauh dari Kabinet Gus Dur atau Kabinet Reformasi yang sarat termuati oleh kompromi politik. Kabinet Gotong Royong belum memulai pekerjaannya, namun pasar sudah merespon positif, yaitu dengan menguatnya nilal tukar Rupiah dari kisaran di atas Rp. 10.000,- per Dollar Amerika menjadi di bawah Rp. 9.000,- dalam waktu yang relatif singkat. Apalagi dengan adanya kunjungan dari Perdana Menteri Australia yang sejak awal dari Era Reformasi selalu mengambil posisi yang berseberangan dengan Indonesia, khususnya dalam masalah Timor Timur. Undangan dari Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, semakin memperkuat legitimasi Presiden Megawati, baik di dalam negeri maupun dimata internasional.

Kepemimpinan Pemerintahan Era Presiden Megawati mampu membenahi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya dalam penegakkan hukum dan disiplin serta pemberantasan KKN di semua lapisan masyarakat guna meningkatkan stabilitas politik dalam rangka mengatasi krisis nasional.


f. Era Reformasi Indonesia Bersatu / Era SBY (2004 – sekarang)

Pasca pemilu langsung tahun 2004 yang menhasilkan duet kepemimpinan nasional SBY – JK dan Kabinet Indonesia Bersatu telah melakukan kebijaksanaan nasional dan landasan kerja guna membangun pemerintahan yang baik dan bebas KKN, melanjutkan reformasi birokrasi, dan mempercepat pemberantasan korupsi dalam rangka mewujudkan Indonesia yang ADAM (Aman dan Damai), ADEM (Adil dan Demokrasi), dan BAHTERA (Tambah Sejahtera) dengan lima agenda utama, yaitu : Peace, Justice, Democracy dan Prosperity (Perpres No. 7/2005), serta mewujudkan Good Govermance dan Clean Government.

Implementasi kebijakan di atas direalisasikan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden RI No 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi dan keputusan presiden RI Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIMTAS TIPIKOR).

Strategi kebijakan untuk mewujudkan Good Governance pada dasarnya mengacu kepada Asas-asas kepemerintahan yang baik. Asas-asas kepemerintahan yang baik terdiri dari 13 butir yaitu: asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas kesamaan, asas bertindak cermat, asas motivasi, asas jangan mencampur adukkan kewenangan, asas permainan yang layak, asas keadilan dan kewajaran, asas menanggapai pengharapan yang wajar, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal, asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan.

Menurut UNDP (1997) Strategi kepemimpinan untuk mewujudkan Good Governance mengacu kepada dasar-dasar kepemerintahan yang baik yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Partisipasi, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan, dan memiliki kebebasan berpendapat dan berserikat secara konstruktif.

2. Aturan hukum (rule of law), hukum dan keadilan harus ditegakkan tanpa diskriminatif.

3. Transparansi, berbagai proses kelembagaan dapat diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkan.

4. Daya tanggap (responsiveness), setiap institusi dan prosesnya harus diupayakan untuk melayani stakeholders.

5. Birokrasi konsensus, pemerintah bertindak sebagai mediator bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus.

6. Berkeadilan (equity), memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk memelihara dan meningkatkan kualitas hidupnya.

7. Efektivitas dan efisiensi, setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya atas berbagai sumber daya yang tersedia.

8. Akuntabilitas (accountability), semua elemen masyarakat (negara, swasta, dan masyarakat madani) harus membuat pertanggungjawaban kepada publik.

9. Bervisi strategis, para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan berjangka panjang terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangungan manusia dan lingkungan.

10. Saling keterkaitan (interrelated), keseluruhan prinsip-prinsip di atas harus bersinergi dan saling terkait (mutally reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku politik Kepemimpinan Pemerintahan adalah lemahnya kesadaran hukum, kurangnya komunikasi politik, latar belakang pendidikan yang kurang memadai serta kurangnya koordinasi antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.

Perjalanan sejarah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaannya selalu diwarnai dengan pasang surutnya kehidupan politik yang berdampak kepada stabilitas politik. Merosotnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam bentuk krisis nasional bersumber dari aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan yang tidak sesuai dengan moral dan etika Kepemimpinan Pemerintahan yang berdasarkan Pancasila, antara lain:

1) Lemahnya aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan yang mampu meningkatkan stabilitas politik.

2) Tidak konsistennya penegakan moral dan etika Kepemimpinan Pemerintahan.

Untuk seorang pemimpin negara bangsa “nation state” akseptabilitas itu menyangkut sejauh mana ia mampu mengelola dukungan sumber daya politik baik secara legal maupun aktual. Dalam kondisi Indonesia dewasa ini dukungan sumber daya politik, yang penting untuk dikelola meliputi dukungan politik DPR/Partai politik, kelompok Islam, militer, pelaku usaha, LSM dan dunia internasional. Tanpa mampu mengimplementasikan unsur-unsur sumber daya politik tersebut, seorang pemimpin akan mudah digoyang dalam menjalankan peran dan fungsi kepemimpinannya yang pada akhirnya akan mengganggu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bagi seorang pemimpin, ada lima inti kredibilitas yang digolongkan sebagai lima C dan meliputi “Conviction, Character, Courage, Composure” dan Competence” (Steven M. Bomstain dan Anthony F. Sands, The Puzzle of Leadership”, dalam Frances Hasselbein, 1996, “Leader of The Future”, The Dracer Foundation, New York) “Conviction” diwujudkan dalam bentuk keyakinan dan komitmen. Character” dicerminkan dalam bentuk integritas, kejujuran, respek dan kepercayaan yang konsisten. “Courage” adalah wujud dari keberanian dan kemauan untuk bertanggung jawab atas keyakinannya, bahkan kalau perlu berani untuk merubah diri. ”Composure” merupakan cerminan dan ketenangan batin, berupa kemampuan untuk memberikan reaksi dan emosi yang tepat dan konsisten dalam menghadapi situasi yang kritis “competence” adalah wujud dari keahlian, keterampilan dan profesionalitas. Untuk pemimpin suatu negara bangsa khususnya Indonesia, lima inti kredibilitas tersebut masih harus dilengkapi dengan dua hal yaitu memiliki visi jauh ke depan atau disebut Visioner dan memiliki sistem nilai yang berakar kepada budaya dan filosofi bangsa Indonesia.

Sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang kita alami selama ini. kita telah memetik pelajaran bahwa yang menjadi akar penyebab awalnya adalah kurang berjalannya sistem pemerintahan yang demokratis. Segala sesuatunya berjalan sekedar sebagai proses formalitas. Ada badan-badan permusyawaratan dan perwakilan rakyat, tetapi keberadaannya lebih bersifat formal institusional dari pada substansional dengan jiwa dan semangat UUD 1945.

PENUTUP

Perjalanan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur, adalah sebuah perjuangan yang menuntut keseriusan semua pemimpin dan jajaran untuk bekerja keras mengenai berbagai permasalahan bangsa dan tantangan global yang sedemikian rumit.

Kondisi bangsa kita saat ini menghadapi ujian yang sangat dahsyat, bukan karena hanya krisis multidimensional yang belum juga terselesaikan, tetapi menyangkut pula hilangnya ketauladanan, sifat panutan dari para pemimpinnya. Banyak kita saksikan para pemimpin bangsa ini tidak satu hati dengan perkataannya, juga tidak satu kata dengan perbuatannya.

Proses perubahan dapat dilakukan mulai dari tahapan peningkatan kualitas dan peran para pemimpin dalam mengemban tugas pokok dan fungsinya masing-masing secara profesional mewujudkan kondisi kepemerintahan yang baik (Good Governance) menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Clean Goverment).

Kondisi pemerintahan dengan kualitas aparatur yang baik dapat dicapai jika upaya pemberdayaan segenap aparatur pemerintah diimbangi dengan upaya aktualisasi nilai-nilai kepemimpinan, keteladanan, integritas moral dan etika segenap pimpinan baik dari tingkat bawah sampai pada tingkat pimpinan puncak nasional.

Sosok pemimpin tauladan adalah sosok pemimpin yang mampu menyelenggarakan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin serta memiliki daya kenegarawanan dan ketauladanan. Marilah kita semua, sesuai dengan jenjang dan proporsinya untuk selalu berprinsip 3 AS yaitu, bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas yang berpedoman pada 3 TIF yaitu positif, kontributif dan produktif.

Tidak ada komentar: