Selasa, 15 Januari 2008

Keamanan Internasional

ANALISA TERHADAP PERAN DEWAN KEAMANAN PBB

DALAM MEMELIHARA PERDAMAIAN DAN
KEAMANAN INTERNASIONAL


BY. Suhara Golan Sidabutar


Pendahuluan
Dewan Keamanan PBB bertanggung jawab terhadap usaha pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia. Dewan ini merupakan badan PBB yang paling berkuasa karena dapat mengambil keputusan yang mengikat semua anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakannya. Dewan Keamanan dipimpin oleh seorang ketua yang dijabat secara bergilir sebulan sekali oleh anggota Dewan Keamanan berdasarkan urutan abjad nama awal negara anggotanya. Dewan keamananlah yang bisa mengenakan sanksi atau tindakan militer terhadap suatu negara.[1]

Dewan Keamanan ini terdiri dari 15 (limabelas) negara anggota, 5 (lima) diantaranya adalah anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China. Anggota tetap ini mempunyai hak untuk memveto putusan yang akan diambil oleh Dewan Keamanan dengan cara menolak dan melawan putusan tersebut. Sebagai kunci dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, Dewan Keamanan mempunyai beberapa fungsi utama. Dewan Keamanan ini membantu untuk menyelesaikan sengketa secara damai, membentuk dan mengatur pasukan penjaga keamanan PBB, dan mengambil langkah-langkah khusus terhadap negara atau pihak-pihak yang tidak patuh terhadap keputusan DK PBB.

Walaupun Dewan Keamanan telah melakukan upaya yang sangat baik dalam menjalankan fungsinya, tetapi pada kenyataannya masih terdapat berbagai permasalahan yang telah menyebabkan ketidakefektifan dari fungsi Dewan Keamanan PBB tersebut. Keamanan dan perdamaian dunia belum dapat diciptakan dan dipelihara. Konflik masih terjadi di berbagai daerah di belahan dunia. Pemegang hak veto dari negara anggota tetap mempunyai kekuatan untuk membendung setiap keputusan yang akan berdampak merugikan bagi kepentingan mereka ataupun sekutunya masing-masing, ataupun contoh lainnya bahwa keputusan yang telah diambil, biasanya hanya menjadi “lip service” bagi pengimplementasian berikutnya.

Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia sekarang ini adalah Dewan Keamanan yang dapat melihat permasalahan sejak dini, Dewan yang dapat menghalangi dan mencegah terjadinya serangan antara negara-negara, serta Dewan yang mampu menjadi perantara dalam melaksanakan penyelesaian konflik.

Berangkat dari uraian di atas, makalah akan menganalisa peran dari Dewan Keamanan PBB dalam menciptakan dan memelihara keamanan dan perdamaian internasional, apa yang sudah berhasil dan sedang dikerjakan oleh PBB dan apa yang belum dan seharusnya dilakukan demi terciptanya keamanan Internasional serta faktor-faktor yang mempengaruhi PBB sehingga belum dapat menciptakan keamanan dan perdamaian internasional.


Pasukan Pemelihara Perdamaian (PPP)

Tujuan utama Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) adalah menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Tujuan ini dicapai dengan cara-cara damai melalui upaya untuk mencegah dan meniadakan ancaman terhadap perdamaian. Di samping itu, untuk mencapai tujuannya, PBB juga melakukan tekanan terhadap negara agresor atau negara pelanggar perdamaian. Berdasarkan prinsip peradilan dan hukum internasional, PBB senantiasa berupaya menyelesaikan perselisihan antarnegara dengan mengutamakan jalan damai.[2]

Pemelihara perdamaian, menurut definisi PBB, adalah "cara untuk menolong negara-negara yang tercabik-cabik konflik untuk menciptakan kondisi perdamaian yang dapat dipertahankan."[3]

Piagam PBB memberikan kepada Dewan Keamanan PBB kekuasaan dan tanggung jawab untuk mengambil tindakan bersama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Karena alasan ini, komunitas internasional biasanya berpaling kepada Dewan Keamanan untuk memberikan otorisasi untuk operasi pemeliharaan perdamaian, dan semua misi Pemeliharaan Perdamaian PBB harus memperoleh otorisasi dari Dewan Keamanan. Kebanyakan dari operasi-operasi ini dibentuk dan diimplementasikan oleh PBB sendiri dengan pasukan-pasukan yang melayani di bawah komando operasional PBB. Dalam hal ini, para anggota pasukan pemelihara perdamaian tetap menjadi anggota masing-masing angkatan bersenjata mereka, dan tidak membentuk suatu “Pasukan PBB” yang independent, karena PBB tidak mempunyai pasukan seperti itu.

Jika Dewan Keamanan gagal melaksanakan tugas pokoknya karena tidak adanya kesepakatan di atara para anggota tetap, maka berdasarkan resolusi tentang penyatuan untuk Perdamaian yang ditandatangani tanggal 3 November 1950, Majelis Umum harus segera membuat rekomendasi kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan gabungan untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Dalam rekomendasi ini termasuk pengertian penggunaan kekuatan bersenjata untuk mengatasi agresi atau jenis pelanggaran lain. [4]

Dalam upayanya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki empat kelompok tindakan, yang saling berkaitan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari semua anggota PBB agar dapat terwujud. Keempat kelompok tindakan itu adalah sebagai berikut:[5]

1. Preventive Diplomacy

Preventive Diplomacy adalah suatu tindakan untuk mencegah timbulnya suatu sengketa di antara para pihak, mencegah meluasnya suatu sengketa, atau membatasi perluasan suatu sengketa. Cara ini dapat dilakukan oleh Sekjen PBB, Dewan Keamanan, Majelis Umum, atau oleh organisasi–organisasi regional berkerjasama dengan PBB.

2. Peace Making

Peace Making adalah tindakan untuk membawa para pihak yang bersengketa untuk saling sepakat, khususnya melalui cara–cara damai seperti yang terdapat dalam Bab VI Piagam PBB. Tujuan PBB dalam hal ini berada diantara tugas mencegah konflik dan menjaga perdamaian. Di antara dua tugas ini terdapat kewajiban untuk mencoba membawa para pihak yang bersengketa menuju kesepakatan dengan cara–cara damai. [6]


3. Peace Keeping

Peace Keeping adalah tindakan untuk mengerahkan kehadiran PBB dalam pemeliharaan perdamaian dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan. Biasanya PBB mengirimkan personel militer, polisi PBB dan juga personel sipil. Meskipun sifatnya militer, namun mereka bukan angkatan perang. Cara ini adalah suatu teknik yang ditempuh untuk mencegah konflik maupun untuk menciptakan perdamaian. Peace Keeping merupakan “penemuan” PBB sejak pertama kali dibentuk, Peace Keeping telah menciptakan stabilitas yang berarti di wilayah konflik. Sejak 1945 hingga 1992, PBB telah membentuk 26 kali operasi Peace Keeping. Sampai Januari 1992 tersebut, PBB telah menggelar 528.000 personel militer, polisi dan sipil. Mereka telah mengabdikan hidupnya dibawah bendera PBB. Sekitar 800 dari jumlah tersebut yang berasal dari 43 negara telah gugur dalam melaksanakan tugasnya.

4. Peace Building

Peace Building adalah tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur–struktur guna memperkuat perdamaian untuk mencegah suatu konflik yang telah didamaikan berubah kembali menjadi konflik. Peace Building lahir setelah berlangsungnya konflik. Cara ini bisa berupa proyek kerjasama konkret yang menghubungkan dua atau lebih negara yang menguntungkan diantara mereka. Hal demikian tidak hanya memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan sosial, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan yang merupakan syarat fundamental bagi perdamaian.

5. Peace Enforcement

Disamping keempat hal tersebut, sarjana Amerika Latin, Eduardo Jimenez De Arechaga, memperkenalkan istilah lain yaitu Peace Enforcement (Penegakan Perdamaian). Yang dimaksud dengan istilah ini adalah wewenang Dewan Keamanan berdasarkan Piagam untuk menentukan adanya suatu tindakan yang merupakan ancaman terhadap perdamaian atau adanya tindakan agresi. Dalam menghadapi situasi ini, berdasarkan Pasal 41 (Bab VII), Dewan berwenang memutuskan penerapan sanksi ekonomi, politik atau militer. Bab VII yang membawahi Pasal 41 Piagam ini dikenal juga sebagai “gigi”-nya PBB (the “teeth” of the United Nations). [7]

Contoh dan penerapan sanksi ini, yaitu Putusan Dewan Keamanan tanggal 4 November 1977. putusan tersebut mengenakan embargo senjata terhadap Afrika Selatan berdasarkan Bab VII Piagam PBB sehubungan dengan kebijakan Negara tersebut menduduki Namibia. Termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB yang menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa shall, first of all, seek a resolution by negotiation…,” tersirat bahwa penyelesaian sengketa kepada organ atau badan PBB hanyalah “cadangan”, bukan cara utama dalam menyelesaikan suatu sengketa. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak ditafsirkan manakala sengketa lahir.

Organ-organ utama PBB bedasarkan Bab III (Pasal 7 ayat (1)) Piagam PBB terdiri dari Majelis Umum, Dewan Keamanan, ECOSOC, Dewan Peralihan, Mahkamah Internasional dan Sekretariat. Organ-organ ini berperan penting dalam melaksanakan tugas dan fungsi PBB. Terutama dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional, sesuai dengan kaedah keadilan dan prinsip hukum internasional. [8]

Penilaian Terhadap Balans PBB

Penilaian orang terhadap PBB bermacam-macam. Penilaian itu tidak lagi didasarkan semata-mata atas maksud dan tujuan PBB seperti yang tertera pada piagamnya, tetapi penilaian itu banyak bercampur dengan praktek pelaksanaan piagam PBB dalam aplikasinya. ”Promise” Piagam PBB diuji dan dikaji oleh ”performace” nya. Janji dan cita-cita diuji dan dikaji oleh kesanggupan dan praktek pelaksanaan. [9]

Dewasa ini banyak yang mengibaratkan PBB itu sebagai ”mirror”, yaitu cermin dari dunia internasional. Begitu dunia internasional, begitu juga PBB. Ada pula yang mengibaratkan PBB sebagai suatu ”spons”, yaitu suatu penyedot air. Laksana air masuk ke dalam spons, yang kemudian dikeluarkan lagi sebagai air oleh spons itu, maka demikianlah diibaratkan setiap pembicaraan situasi internasional ke dalam forum PBB. Ada pihak lain yang mengibaratkan PBB sebagai ”prisma”, yaitu semacam cermin segitiga. Setiap sinar terang yang masuk ke dalam prisma tidak dikembalikan begitu saja seperti kalau masuk ke dalam cermin biasa, tetapi dikembalikan dengan secara ”distorted a little”, secara berbelok dan berubah sedikit. Malahan menjadi bercorak, sesuai dengan hukum Newton tentang sinar yang masuk dalam prisma. Belokan dan perubahan sinar itu ada yang membaik, ada juga yang memburuk. Dengan kata lain : setiap situasi internasional, kalau masuk kedalam forum PBB mengalami sorotan pandangan yang sedikit berbeda dari situasinya itu sendiri dan keluarnya pun agak berbeda pula. [10]

Disamping pengibaratan dan penilaian tersebut di atas tentang PBB, yang ditinjau dari segi yuridis legal dan politis, maka ada pula yang meninjaunya dari sudut ”filosophis-culturil”. Satu diantaranya ialah berasal dari seorang bekas – pegawai Sekretariat, berbangsa Irlandia dan bernama Connor Cruise O’Brien, yang pada tahun 1961 meninggalkan PBB. Berlandaskan apa yang ia lihat dari belakang layar Sekretariat PBB, maka beliau menamakan PBB sebagai suatu drama kramat, suatu ”sacred drama”, dimana pemain-pemainnya (yaitu para delegasinya) setiap kali menjalankan semacam ”ritual”, semacam ”upacara kramat”, yang mirip dengan tiap upacara drama dan yang mengandung didalamnya dua pencerminan alam kejiwaan, yaitu ”fear and prayer”, ketakutan dan pemujaan. Di dalam ”drama keramat” ini dimana gedung Majelis Umum merupakan ”stage set for a continuous dramatization of world history” (panggung untuk secara continue mendramatisir sejarah dunia), maka sebenarnya PBB tidak pernah “act” (bertindak), melainkan selalu “acting”, yaitu “main sandiwara”. PBB sebagai tempat ”sacred drama” demikian selalu memerlukan ”play acting, symbolism and ritual”).[11]

Apabila kita melihat berbagai masalah yang dirundingkan dalam forum PBB, maka semua gambaran di atas perlu kita renungkan sebentar, tanpa terseret pada pandangan yang terlalu muluk-muluk, yaitu “the dreamer’s view” (pandangan seorang yang mimpi), atau tersirat dalam pandangan yang “sinis”, yaitu pandangan yang negative bercampur putus harapan. Pandangan yang terbaik adalah pandangan yang realistis, yaitu suatu pandangan yang berdaya melihat segi-segi positipnya dari PBB sambil mengakui kelemahan-kelemahannya dan fakta-fakta penghambatnya, disertai dengan ikhtiar untuk membantu mengatasi penghambat-penghambat tersebut. [12]

PBB sejak lahirnya hingga sekarang ini dapat berfungsi sebagai suatu alat politik internasional untuk menghindarkan atau memperkecil kemungkinan timbulnya perang global. Kenyataan ini dapat dicatat sebagai salah satu hal yang positif dalam balansnya PBB. Kebalikannya ialah bahwa tak berdayanya PBB untuk mencegah timbulnya ”local” wars seperti di Vietnam dan Timur Tengah merupakan hal yang negatif dalam balansnya PBB. Hal-hal positif dalam balansnya PBB akibat daripada kesadaran dan kesediaan pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan jalan ”negotiated settlements”, yaitu penyelesaian melalui perundingan, di bawah pengayomannya PBB.

Sebagai contoh yang menonjol dalam usaha ini ialah penyelesaian melalui perundingan atau ”negotiated settlement” mengenai pertikaian Indonesia-Belanda (1947-1949), Kashmir (1948), Timur Tengah (1947-1949), dan Irian Barat (1962-1969). PBB juga berhasil untuk bertindak sebagai ”polisi” dengan dibentuknya ”peace-keeping forces” untuk Congo (1960) dan Cyprus (1964), Timur Tengah (1965).

Apabila dilihat bahwa produksi persenjataan dan alat-alat militer oleh negara-negara yang dapat memperkembangkan suatu military industrial compleks makin tahun makin bertambah, penimbunan persenjataan nuklir oleh negara-negara nuklir makin tahun makin meningkat, perdagangan persenjataan konvensional dari negara-negara yang industri perangnya sudah maju ke negara-negara yang belum maju makin menaik, maka sebenarnya dibidang perlucutan persenjataan ini PBB mengalami suatu kemacetan yang serius, bahkan boleh dikatakan suatu kegagalan. [13]

Kegagalan PBB Menyelesaikan Konflik

Kegagalan PBB mencegah pecahnya perang Irak, menyusul invasi AS dan sekutunya ke Irak pada tahun 2003. Program yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tahun 1995 itu memungkinkan Irak menjual minyaknya kepada dunia untuk ditukar dengan makanan, obat-obatan dan kebutuhan lainnya yang diperlukan rakyat Irak yang mengalami dampak sanksi ekonomi setelah Irak menyerang Kuwait. [14]


Konflik di kawasan Afrika, Timur Tengah, serta peningkatan peran organisasi kawasan dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Adanya sejumlah situasi konflik di Afrika, yaitu antara Eritrea dan Ethiopia, konflik di Darfur, Somalia, Republik Demokratik Kongo serta Sierra Leone. Kawasan Afrika selama ini memang mendominasi pembahasan di Dewan Keamaman, sekitar 75% masalah yang dibahas oleh DK-PBB adalah menyangkut situasi di Afrika.

Konflik dan situasi di Timur Tengah, menyangkut Resolusi 1701 tentang konflik di Lebanon serta konflik yang berlarut-larut antara Israel dan Palestina. Dengan melihat kondisi konflik di atas, maka perlu adanya kajian apakah Dewan Keamanan selama ini dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional telah benar-benar memanfaatkan kemampuan yang ada di berbagai kawasan dunia.[15] Atau mungkinkah negara-negara pemegang hak veto dari negara tetap akan membendung setiap keputusan apabila tidak berpihak kepada negara dan sekutunya?

Aksi-aksi terorisme telah mengubah wajah dunia. Peta konflik dunia tak lagi berkutat pada perang antar-negara atau antar-kawasan, tetapi juga perang terhadap kelompok yang tidak mengenal spesifikasi teritorial. Sebagai sebuah jaringan, kelompok teroris ada dimana-mana, bahkan di jantung Amerika atau Inggris sekalipun. Terkuaknya rencana peledakan pesawat untuk penerbangan Trans Antlantik di Bandara Heatrow, London, membuktikan bahwa para teroris tetap tak mau menyurutkan rencana-rencana mereka mengacaukan kepentingan Amerika dan sekutunya. Sekarang menjadi momen penting bagi warga dunia (terutama pemerintah-pemerintahnya) untuk bersama-sama memerangi “hantu” terorisme yang telah merusak kepentingan-kepentingan kemanusiaan. [16]

Penutup

Pengamatan terhadap kecenderungan penugasan operasi PPP PBB akhir-akhir ini menunjukkan perlunya suatu pengkajian yang mendalam mengenai perubahan kebijaksanaan PBB yang berkaitan dengan upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia. Kecenderungan tersebut memperlihatkan persengketaan antarnegara dan intranegara terus meningkat. Ini berarti keperluan dunia akan PPP PBB juga akan meningkat.

Secara khusus, kasus Bosnia-Hercegovina mengadung pertentangan pendapat yang tajam di antara anggota PBB mengenai peranan yang dimainkan PBB. Banyak negara yang menuding Amerika Serikat menerapkan standar ganda dalam aksi-aksi pemeliharaan perdamaiannya. Sudah banyak negara yang menuduh Amerika Serikat yang selalu ingin menjadi polisi dunia sesungguhnya cuma ingin menjadi polisi dunia apabila kepentingan nasionalnya terusik. Kalau kepentingan negara lain atau kepentingan regional di luar Amerika Serikat terganggu, maka negara adikuasa itu tidak akan melalukan suatu tindakan nyata.

Selain itu, kasus Bosnia-Hercegovina juga mengundang pendapat-pendapat baru dari para negarawan. Beberapa negara menghendaki PBB segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan penyerbuan Serbia ke arah daerah-daerah aman yang telah ditetapkan oleh PBB. Negara-negara ini menghendaki penghapusan peran PBB sebagai pemelihara perdamaian. Mereka menuntut perwujudan peran PBB yang dinamis sehingga dunia bisa melihat hasil nyata yang telah dilakukan oleh PBB. [17]

Semakin banyak negara menuntut PBB untuk bersikap sepenuhnya netral dalam penyelesaian persengketaan. Tuntutan ini muncul karena mereka selama ini mengamati PBB (yang dipengaruhi negara-negara besar) pada kenyataannya cenderung untuk mendukung salah satu pihak yang bersengketa.[18]


Referensi

Unated Nations, The Unated Nations At Forty, A Foundation to Build On, New York, 1985.

Dr. H. Roeslan Abdulgani, 25 Tahun Indonesia-PBB, Penerbit PT. Gunung Agung, Jakarta, 1972.

ABRI dan PBB, Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia, Jakarta, 1995.

Makarim Wibisono, Tantangan Diplomasi Multilateral, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006.




[1] ABRI dan PBB, Departemen Pertahanan Keamanan Republik Indonesia, Jakarta, 1995.

[2] ABRI dan PBB, Departemen Pertahanan Keamanan Republik Indonesia, 1995, Jakarta

[3] J.G. Merrills, International Disputes Settlement, Cambrige: CambrigeU.P., 2nd ed., 1995,hlm.179

[4] ABRI dan PBB, Rakan Offset, Jakarta, Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia, Jakarta, hal 74

[5] Boutros Boutros-Ghali, An Agenda for Peace, New York: United Nations,1992,hlm.12

[6] Eduardo Jimenez De Arechaga, United Nations Security Council, Encylopedia of Public International Law, Instalment 5 1983, hlm.346

[7] Thomas M. Franck and Faiza Patel, UN Police Action in Lieu of War: The Order Chapters,85:1 AJIL,65 (1991)

[8] Huala Adolf, SH.,LL.M., Ph.D, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Grafika. Jakarta

[9] 25 Tahun Indonesia – PBB, Dr. H. Roeslan Abdulgani, Penerbit PT. Gunung Agung – Jakarta 1972.

[10] Lincoln P. Bloodmfield : The U. N. At twenty and after Headline Series No. 173, October 1965.

[11] Connor Cruise O’Brien : UN the sacred Drama tahun 1968, hal. 9.

[12] Maurice Waters dalam : The UN, International Organization and Administration, tahun 1967, Preface.

[13] 25 Tahun Indonesia – PBB, Dr. H. Roeslan Abdulgani, Penerbit PT. Gunung Agung – Jakarta, 1972.

[14] http://portal.antara.co.id/arc/2006/12/20/kofi_annan_ratapi_kegagalan_pbb_ henti kan_perang_irak/

[15] http://www.kapanlagi.com/h/0000197425.html

[16] http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3660_0_3_0_M

[17] ABRI dan PBB, Departemen Pertahanan dan keamanan Republik Indonesia Jakarta, 1995, Rekan Offset Jakarta.

Tidak ada komentar: